MINI RISET
MINI RISET PKN UNIMED - Contoh Format Mini Riset Yang Baik Dan Benar
MINI RISET PKN UNIMED - Contoh Format Mini Riset Yang Baik Dan Benar
Berikut Ini adalah Tampilan Contoh Cover Mini Riset Unimed
Perspektif Masyarakat Minangkabau Terhadap Budaya Matrilineal Di Kota Medan Di Tinjau Dari Hukum Adat
Studi Kasus Jl. Bromo, Tegal Sari III Medan
Kelas Reguler B
Ketua Kelompok 4 :
Dara Afifa (NIM : 3172111012)
Anggota Kelompok : NIM :
1. Elpika Br. Sitepu 3173311018
2. Renni Harianja 3172111007
3. Ade Soraya Sri Nauli Wate 3173111001
4. Nurhassania Siagian 3171111013
5. Wina Putri Valentina Br. Pinem 3173311054
6. Rina Susi Susanti Purba 3173111020
7. Desti Natalia Zendrato 3173311014
Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Medan
2017/2018
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Kami yang bertanda tangan dibawah ini:
Ketua : Dara Afifa (3172111012)
Sekretaris : Elpika Br. Sitepu (3173311018)
Bendahara : Renni Harianja (3172111007)
Anggota : Ade Soraya Sri Nauli Wate (3173111001)
Nurhassania Siagian (3171111013)
Wina Putri Valentina (3173311054)
Rina Susi Susanti Purba (3173111020)
Desti Natalia Zendrato (3173311014)
Jurusan : Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan
Fakultas : Ilmu Sosial
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan hasil penelitian dan pemaparan yang kami tulis benar merupakan hasil karya kami sendiri dan bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain,yang kami akui sebagai hasil tulisan atau pikiran kami sendiri. Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan tulisan/proposal ini merupakan hasil jiplakan atau plagiat maka kami bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Demikian pernyataan orisinalitas ini kami buat dan bisa dipergunakan sebagaimana mestinya.
Medan, Oktober 2017
Ketua Kelompok 4
Dara Afifa
NIM.3172111012
HALAMAN PENGESAHAN
Proposal ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Proposal Mini Riset Pengantar ICT
Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Medan
Ketua : Dara Afifa (3172111012)
Sekretaris : Elpika Br. Sitepu (3173311018)
Bendahara : Renni Harianja (3172111007)
Anggota : Ade Soraya Sri Nauli Wate (3173111001)
Nurhassania Siagian (3171111013)
Wina Putri Valentina (3173311054)
Rina Susi Susanti Purba (3173111020)
Desti Natalia Zendrato (3173311014)
Akan dipertahankan di hadapan penguji
Medan, Oktober 2017
TIM PENGUJI:
Pembimbing utama Asisten pembimbing
Parlaungan G. Siahaan, S.H., M. Hum Roy Martin Simamora, S.Pd., M.Ed.
NIP. 197510142006041001 NIP.
Pembukaan Laporan Mini Riset
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuha Yang Maha Esa, atas kasih dan izin-Nya sehingga proposal mini riset “Perspektif Masyarakat Minangkabau Terhadap Budaya Matrilineal Di Kota Medan Di Tinjau Dari Hukum Adat ( Studi Kasus : Jl. Bromo, Tegal Sari III Medan )” dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Proposal ini disiapkan sebagai pemenuhan dari penugasan pada mata kuliah Pengantar ICT. Sebagaimana proposal lainnya, penulis memaksudkan pembuatan makalah ini sebagai jembatan untuk melakukan mini riset yang sesungguhnya pada populasi maupun sampel-sampel yang berhubungan dengan proposal ini.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Parlaungan G. Siahaan, S.H., M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar ICT dan juga kepada Bapak Roy Martin Simamora, S.Pd., M.Ed. selaku asisten pembimbing. Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah mau berbagi mengenai penyusunan proposal mini riset ini.
Seperti kata pepatah “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”, penulis menyadari bahwa penyusunan proposal mini riset “Perspektif Masyarakat Minangkabau Terhadap Budaya Matrilineal Di Kota Medan Di Tinjau Dari Hukum Adat ( Studi Kasus : Jl. Bromo, Tegal Sari III Medan )” jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran kepada para pembaca guna penyempurnaan proposal ini selanjutnya.
Medan, Oktober 2017
Kelompok 4
ABSTRAK
Kelompok IV. “Perspektif Masyarakat Minangkabau Terhadap Budaya Matrilineal Di Kota Medan Di Tinjau Dari Hukum Adat”. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Medan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hukum adat Minangkabau yang menggunakan garis keturunan ibu (matrilineal). Perempuan dalam adat Minangkabau memiliki kedudukan yang khas dan penting, yang disebut “umban puruak” (penyimpanan perbendaharaan rumah tangga). Dalam penelitian ini peneliti meneliti kedudukan perempuan dalam hukum adat Minangkabau, penelitian ini menggambarkan bagaimana pola matrilineal dapat memberikan kedudukan yang tinggi kepada kaum perempuan dalam hukum waris, dan garis keturunan dalam hukum adat Minangkabau. Pola matrilineal ini sendiri menjadi identitas yang sangat khas bagi suku Minangkabau.
Kata Kunci: Kedudukan Perempuan, Hukum Waris Adat Minangkabau
Daftar Isi
Halaman Sampul
Halaman Judul
Halaman Pernyataan Orisinalitas
Halaman Pengesahan
Kata Pengantar................................................................................................. i
Abstrak............................................................................................................. ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah......................................................................... 4
C. Batasan Masalah.............................................................................. 5
D. Rumusan Masalah............................................................................ 5
E. Tujuan Penelitian.............................................................................. 5
F. Manfaat Penulisan............................................................................ 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA.......................................................................... 7
A. Kajian Teoritis.................................................................................. 7
B. Kerangka Berpikir............................................................................ 14
BAB III METODOLOGI................................................................................ 15
A. Metode Penelitian............................................................................ 15
B. Lokasi Penelitian.............................................................................. 15
C. Populasi dan Sampel Penelitian....................................................... 15
D. Teknik Pengumpulan Data............................................................... 15
E. Teknik Analisis Data........................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan suatu peraturan yang dibuat dan diakui keberadaannya dalam kehidupan bermasyarakat guna mengatur tata tertib bermasyarakat. Kata hukum berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk tunggal, kata jamakya adalah “Alkas” yang selanjutnya diambil alih kedalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum”. Satjipto Rahardjo menjelaskan hukum adalah karya manusia berupa norma-norms berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan kemana harus diarahkan. Dalam penggolongan nya menurut isi nya hukum dibedakan atas Hukum Privat (Sipil) dan Hukum Pidana (hukum negara).
Hukum Privat mencakup antara lain : hukum perorangan, hukum keluarga, hukum harta kekayaan (waris), dan hukum dagang. Pada kesempatan ini kelompok kami akan membahas tentang hukum waris khusus nya pada masyarakat Minangkabau yang memegang budaya matrilineal. Minangkabau adalah suku asli daerah Sumatera Barat. Biasanya orang menyebut suku Minangkabau adalah suku Padang dimana Padang merupakan salah satu daerah yang berada di daerah Sumatera Barat. Dari hukum adat yang digunakan akan menggambarkan bagaimana masyarakat adat menjalankan kehidupannya menurut adat yang berlaku.
Kehidupan menurut adat merupakan kehidupan yang menitikberatkan pada aturan yang diciptakan oleh nenek moyang yang sifatnya turun-temurun, karena sifatnya yang turun-temurun maka biasanya aturan ini bentuknya tidak tertulis. Masyarakat adat Minangkabau memang menggunakan garis keturunan ibu, dimana garis keturunan ibu ini lahir dari pemikiran bahwa wanitalah yang merupakan sosok penting dalam keluraga karena wanita merupakan orang yang mendidik anak-anaknya dalam keluarga.
Garis keturunan ibu (matrilineal) menjadi sorotan utama dari berbagai pihak, terutama orang-orang yang memandang dari pandangan hukum islam. Hukum islam sendiri memandang laki-lakilah yang bisa mewarisi sebagai keturunan. Perbedaan ini juga tidak hanya terdapat dalam pandangan hukum islam saja, bahkan di dalam hukum adat dari beberapa daerah juga memiliki perbedaan.
Dengan adanya perbedaan dalam penentuan garis keturunan ini tentunya menimbulkan perbedaan hak terutama hak waris diantara kaum laki-laki dan perempuan. Pada suku adat Minangkabau misalnya yang menggunakan garis keturunan ibu (matrilineal) meletakkan kaum perempuan menjadi kaum yang sangat penting. Karena perempuan merupakan orang mempunyai hak untuk memiliki harta waris pusaka tinggi.Dalam hubungan kekerabatan, perempuan Minangkabau juga menjadi tonggak utama dalam membentuk hubungan antar kerabat.Perempuan Minangkabau juga dipercaya sebagai tumpuan keluarganya dirumah.
Dalam adat Minangkabau sebenarnya juga tidang langsung menyepelekan kaum lelakinya. Karena dalam adat Minangkabau dikenal juga yang namanya mamak. Mamak adalah saudara lelaki dari ibu, biasanya saudara laki-laki tertua dari ibu. Didalam studi pustaka yang kami lakukan kedudukan Mamak adalah setingkat, sederajat, dan sedarah dengan ibu. Mamak juga merupakan orang yang berperan sebagai pemimpin kaum dan pemimpin yang menentukan hasil keputusan rapat pada rapat kaum.
Mengenai hak waris, masyarakat adat Minangkabau biasanya memberikan warisannya secara turun temurun kepada kemenakan-kemenakan mereka. Dari hal ini dapat diuraikan didalam hukum waris adat, Minangkabau menggunakan sistem kewarisan kolektif dan tidak mengenal sistem kewarisan perseorangan. Sistem kewarisan kolektif adalah sistem kewarisan di mana para pewaris mewarisi harta peninggalan pewaris secara bersama-sama. Dalam adat Minangkabau ada dua bentuk harta warisan; (1) Pusako tinggi yang merupakan harta warisan turun temurun; (2) Pusako rendah yang merupakan harta yang diperoleh sendiri.Saudara laki-laki yang lazim disebut mamak tadi berperan juga sebagai penyangga atau pelindung dari apa yang sudah diwariskan kepada saudara perempuannya. Melihat dari teori yang berkembang dan membandingkannya dengan fakta yang ada, hukum adat minangkabau menempatkan perempuan sebagai pewaris dan pemilik sah pusaka. Pewaris merupakan orang yang meneruskan harta peninggalan atau orang yang mempunyai harta warisan.Sedangkan waris merupakan penunjukkan orang yang mendapatkan harta warisan atau orang yang berhak atas harta warisan. Cara pengalihan yaitu dengan proses-proses penerusan harta warisan dari pewaris kepada waris.
Namun dalam hal ini kami menemukan kasus bahwasannya Mamak yang seharusnya berperan untuk menjaga harta pusaka yang ada pada kaum perempuan malah mendominasi dan mengambil alih beberapa kewenangan-kewenangan strategis yang secara ideal normatif menjadi hak perempuan. Dan biasanya penyelesaian sengketa ynag terjadi ini dilakukan secara damai dengan musyawarah dan mufakat sesuai dengan cirikahas masyarakat adat Minangkabau yang kehidupannya sangat dinamis.
Melihat uraian yang ada diatas dari kenyataan yang ada sesungguhnya hal ini sangat disayangkan. Karena pihak mamak yang seharusnya menjadi pelindung dari harta pusaka yang dipegang oleh perempuan tidak lagi menjalankan kewajibannya. Tidak hanya itu bahwa seorang anak laki-laki yang menggarap atau memanfaatkan harta pusaka di anggap bahwa itu sebuah aib karena menurut pembagian harta waris pada masyarakat Minangkabau yang bisa memanfaatkan atau yang bertanggung jawab merupakan hak dari kedudukan perempuan tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa mulai ada kelunturan budaya/adat istiadat dari suku adat Minangkabau sendiri.
Kami menyimpulkan sebenarnya jika ditelisik lebih jauh, dalam hal kedudukan tidak ada perbedaan yang signifikan dari pihak perempuan dan pihak laki-laki pada masyarakat adat Minangkabau. Karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki perannya tersendiri dalam hukum adat yang berlaku.Seperti mamak yang merupakan saudara kandung ibu, memiliki kedudukan yang sederajat dan setingkat dengan ibu.Namun memang, dalam hal pembagian hak waris ada perbedaan yang cukup signifikan diantara keduanya.Maka dari itu hal ini yang sebenarnya menarik peneliti untuk membahas lebih lanjut mengenai kedudukan perempuan dalam hukum waris adat Minangkabau.
B. Identifikasi Masalah
Dalam melakukan penelitian mengenai hak waris pada masyarakat Minangkabau tentu diperlukan adanya identifikasi masalah yang akan diteliti sehingga dapat memudahkan penelitian karena dapat terarah dan sistematis. Dengan adanya identifikasi masalah penelitian juga dapat dilakukan dengan lebih mendalam.
Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini antara lain:
1. Sistem pembagian waris yang memberikan harta pusaka sepenuhnya kepada perempuan dalam Masyarakat adat Minangkabau.
2. Kedudukan Perempuan yang sudah diabaikan dalam masyarakat adat Minangkabau dalam kepemilikin harta pusaka tinggi.
3. Sistem kewarisan Minangkabau yang berdasarkan sistem kewarisan kolektif.
4. Kedudukan mamak yang tidak lagi berfungsi sebagai mana mestinya dalam adat Minangkabau.
5. Lelaki merupakan orang yang tidak berhak dalam pembagian hak waris pusaka.
C. Pembatasan Masalah
Melihat luasnya ruang lingkup yang akan dibahas, dalam hal ini mengharuskan peneliti membatasi masalah agar lebih terarah. Sehingga memepermudahkan peneliti dalam mencapai tujuan dan memperoleh manfaat dari penelitian ini.Dalam hal ini peneliti membatasi masalah pada bagaimana kedudukan perempuan pada pembagian harta waris pada masyarakat adat Minangkabau dan bagaimana sistem kewarisanpada Masyarakat adat Minangkabu.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1 . Bagaimana kedudukan perempuan dalam pemilik sah hak waris pusaka pada masyarakat adat Minangkabaudibandingkan kedudukan Mamak?
2 . Bagaimana sistem kewarisan pada masyarakat adat Minangkabau?
E. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian:
1. Mengetahui kedudukan perempuan pada masyarakat adat Minangkabau.
2. Mengetahui sistem pewarisan adat yang digunakan dalam hukum waris adat Minangkabau.
F. Manfaat Penulisan
Dalam penelitian yang akan dilakukan, diharapkan dapat membawa manfaat, yaitu:
- Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi setiap orang agar menambah pengetahuan terkait kedudukan perempuan dalam pembagian harta waris pada masyarakat adat Minangkabau;
- Penelitian ini diharapkan dapat sebagai pedoman dalam menentukan perilaku serta sikap masyarakat memahami masyarakat hukum waris adat;
- Penelitian juga diharapkan mampu menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dalam rangka upaya meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap hukum adat dan untuk lebih memahami mengenai hukum waris adat.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
a. Hukum Waris Adat Minangkabau
Chairul (1997: 1) mengatkan bahwa Minangkabau merupakan suku yang unik karena kehidupan masyarakatnya yang disusun dan diatur menurut tertib hukum ibu. Mulai dari lingkungan hidup yang kecil, dari keluarga, sampai kepada lingkungan hidup yang paling atas yaitu sebuah “nagari” kita dapat melihat bahwa faktor turunan darah menurut garis “ibu” merupakan faktor yang mengatur organisasi masyarakatnya, walaupun dalam lingkungan yang terkahir disebutkan yaitu didalam negeri kita masih menjumpai adanya faktor pengikat yang lain. Kehidupan yang diatur menurut tertib hukum ibu itulah yang disebut dalam istilah sehari-hari sebagai kehidupan menurut adat.
Hukum waris Minangkabau merupakan bagian hukum adat yang banyak seluk-beluk nya. Pada satu pihak lapangan ini merupakan kelanjutan yang sesuai dengan tertib susunan menurut hukum ibu, akan tetap ia mempunyai sangkut paut pula bahkan bertendensi dipengaruhi hukum waris menurut syarak.
Di Minangkabau harta keluarga dipunyai oleh sebuah paruik ataupun jurai. Walaupun yang memiliki harta pusaka itu adalah jurai atau paruik akan tetapi pelaksana kuasanya dipegang oleh orang yang menjalankan kekuasaan keluarga di dalam persekutuan hukum itu yaitu orang yang mewakili persekutuan hukum itu kedalam maupun keluar yaitu oleh mammak. Disamping itu mammak itu sendiri pun dapat juga memperoleh hak genggam nan bauntuak setelah disetuji oleh jurai keseluruhannya. Hanya
perlulah diingat disini bahwa mammak yang memegang pelaksana kuasa dari harto pusako jurainya bukanlah setiap mammak (saudara laki-laki dari ibu) akan tetapi hanyalah mammak yang merupakan orang yang dituakan dari mammak-mammak yang ada, yang dengan perantaraannya hubungan dengan dunia luar dilaksanakan. Hingga waktu ini bidang waris masih tetap menjadi persoalan yang ramai. Pengaruh hukum Islam dalam bidang ini tampak nyata, sehingga di antara kedua garis itulah berada pemecahan persoalan-persoalan waris tersebut. Perselisihan-perselisihan, pertengkaran-pertengkaran, bahkan kadang-kadang sampai kepada perbuatan-perbuatan yang bersifat pidana; di Minangkabau sebagian berasal dari bidang waris ini. Azhari (2014: 1) mengatakan pranata hukum waris merupakan salah unsur yang penting dalam kehidupan masyarakat, terlebih pada masyarakat adat, karena implikasinya yang bersifat langsung terhadap kelanggengan sistem sosial, baik pada tataran keluarga, karib kerabat maupun masyarakat pada umumnya.Masyarakat adat dalam konteks pasal 18B ayat 2 UURI 1945 adalah dalam pengertian sebagai anggota atau warga dari kesatuan masyarakat hukum adat.Kesatuan diartikan sebagai simbol yang menandakan adanya suatu sistem, yang bergerak dan mengatur berbagai unsur suatu kesatuan masyarakat hukum adat. (Jamin, 2009: 43)
Sedangkan hukum adat sendiri berarti sebagai sistem aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal dari adat kebiasaan, yang secara turun-temurun dihormati dan ditaati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa Indonesia. (Saputra dan Wirawan, 2015:55)
Menurut Soepomo dalam Akhmad (2014:22) mengatakan hukum adat waris ialah peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta benda dan barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.” Seperti dikutip Soerojo Wignjodipoero, Ter Haar merumuskan bahwa:
“hukum adat waris adalah peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Proses ini menurut hukum adat tidak terikat oleh matinya pewaris dan juga tidak disyaratkan masih hidupnya ahli waris”.
Menurut Djamali (2001:150) hukum waris adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur nasib kekayaan orang setelah pemilikinya meninggal dunia.Setelah mengetahui definisi dari hukum waris, adabaiknya melanjutkan kajian dengan memaparkan mengenai hukum waris adat.Hadikusuma (2003: 8) memaparkan mengenai stilah hukum adat, beliau mengatakan bahwa hukum adat berasal dari kata Arab “Huk’m” yang berarti suruhan atau ketentuan.Dan “Adah” atau Adat artinya kebiasaan yaitu perilaku masyarakat yang selalu terjadi.Jadi hukum adat dapat diartikan sebagai hukum kebiasaan.
Dalam masyarakat Minangkabau orang yang mengatur mengenai hukum adat jika ada sebuah persengketaan antara pewaris adalah Mamak.Dalam sistem kekerabatan matrilineal yang dianut di Minangkabau, mamak-lah yang memegang kedudukan sebagai Kepala Kaum.Salah satu dari mamak inilah yang memegang kedudukan sebagai kepala penghulu. Beliau jugalah yang menjadi pemimpin suku, pelindung bagi semua anggota kaumnya dan sebagai hakim yang akan memutuskan segala sidang sengketa diantara semua kemanakannya. Mamak-lah yang harus didengar dan dihormati dalam lingkungan sukunya.(Irna dan Dsriani,2006:3). Namun, akhir-akhir ini hampir di semua wilayah Sumatera Barat sebagai daerah asli suku Minangkabau terdapat kasus dimana mamak (saudara laki-laki dari pihak ibu) mendominasi dan mengambil alih beberapa kewenangan strategis yang secara ideal normatif menjadi hak perempuan. (Sasmita, 2011: 84)
A.Qodri Azizy dalam Komari (2015: 158) memberikan konsepsi secara dinamis bahwa hukum Adat Indonesia ini, lebih tepat disebut “hukum kebiasaan” (customary law) atau hukum yang hidup di masyarakat (living law), sedangkan dalam pengertian yang statis hukum adat adalah kebiasaan atau adat-istiadat bangsa Indonesia yang telah dijadikan sebuah disiplin dan dikategorikan secara baku. Demikian juga Sorjono Soekanto juga mengatakan bahwa pada hakekatnya hukum Adat merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (seinsollen), berbeda dengan kebiasaan-kebiaaan belaka, kebiasaan yang merupakan adat adalah perbuatan-perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama.
Dalam adat Minangkabau dikenal yang namanya persekutuan hukum adat (Keluarga Minang/Paruik).Sairin (2002) mengatakan bahwa Minangkabau adalah sebutan untuk sebuah kelompok masayarakat yang mendiami sebahagian besar daerah Sumatera Barat yang memanjang dari utara keselatan diantara samudera Indonesia dan gugusan bukit barisan.Salah satu ciri yang sering dilekatkan pada masyarakatnya adalah kehidupan mereka yang dinamis. (Yerri, 2007:164-165).
Secara hirarkhis, terdapat lima generasi (limo kali turun) garis ibu dalam Keluarga Minang (paruik) yaitu: (1) Puyang (ibu dari moyang), (2) Moyang (ibu dari nenek), (3) Nenek (ibu dari ibu), (4) Ibu dan (5) Anak itu sendiri. Secara organisasional paruik terdiri dari jurai-jurai atau gabungan jurai-jurai. Dalam hal ini suami tidaklah dihitung sebagai anggota keluarga minang. (Yunus, 2013: 23-24)
Hal ini juga yang menyebabkan laki-laki di Minangkabau tidak memiliki hak atas harta (property). Dampak positif dari fenomena ini adalah banyaknya laki laki yang pergi dari kampung halamannya untuk merantau dengan dalih ekonomi. Meskipun menurut Mochtar Naim (1984: 249-250) banyak faktor yang menyebabkan laki-laki Minangkabau merantau, antara lain: faktor fisik (alam), pendidikan, politik, daya tarik kota dan sebagainya,.
Di sisi lain, bagi laki-laki yang telah berkeluarga (mempunyai anak dan isteri), tidak begitu canggung dan ragu-ragu bagi mereka untuk meninggalkan keluarga. Karena isteri dan anak-anak yang mereka yang ditinggalkan mampu dan bisa survive dengan harta pusaka isteri mereka di kampung halamannya. Perempuan Minang yang di tinggalkan oleh suaminya baik karena cerai maupun meninggal dunia, jarang mau menikah kembali, kecuali bagi mereka yang belum mempunyai keturunan atau anak. Bagi perempuan yang sudah memiliki anak, mereka lebih memilih sebagai single parent. Tidak jarang, perempuan Minangkabau sebagai single parent cukup berhasil dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini tentu tidak terlepas jika dihubungkan dengan sistem matrilineal itu sendiri, dimana anak-anak menjadi jauh lebih dekat kepada ibunya. (Fatimah, 2012 : 17-18).
Dalam konteks hukum adat menurut Soepono, (dalam Tutik, 1998: 248-249) hukum waris adalah sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Adapun Van Dijk berpandangan, bahwa hukum waris menurut hukum adat adalah suatu kompleks kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan dan pengoperan daripada harta baik materiil maupun immateriial dari geenrasi ke genarasi berikutnya. Dari definisi ini memberikan penjelasan bahwa istilah waris didalam hukum waris adat termuat 3 inti penting, yaitu: (1) proses pengoperan atau hibah (warisan); (2) harta benda materiil dan immateriil; dan (3) satu generasi ke generasi selanjutnya.
Menurut M.M. Djojodigoeno (dalam Komari, 2015: 159) hukum waris adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan. C. Van Vollenhoven juga mengungkakan bahwa hukum waris adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Dari beberapa penjelasan yang terdapat diatas kami menyimpulkan bahwa hukum adat adalah suatu bentuk aturan yang diambil dari kebiasaan orang-orang terdahulu yang diwarisi secara turun-temurun.Karena secara turun-temurun aturan ini sifatnya tidak tertulis.Dan hukuman yang diberikan akibat pelanggaran hukum adat biasanya diberikan sesuai kesepakatan masyarakat adat itu sendiri.
b. Sistem Kewarisan
Dalam pelaksanaan hukum kewarisan pada masyarakat Minangkabau mengguanakan garis keturunan ibu (matrilineal). Matrinileal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa latin) yang berarti “ibu”, dan linea (bahasa latin) yang berarti “garis”. Jadi, matrilinial berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. (Yazid, 2014: 137)
Kedudukan perempuan dalam sistem kewarisan Minangkabau sangtlah penting. Dikatakan penting karena perempuan-perempuan Minangkabau diharapkan dapat menjaga keseimbangan hubungan baik dengan kaum kerabat (Bundo Kandung) dan dapat menjadi tumpuan bagi keluarga di rumah (limpapeh rumah nan gadang). Keistimewaan lain yang dimiliki perempuan Adat Minangkabau adalah ia dapat bertindak sendiri dalam perkara pengadilan, untuk membela kepentingan pribadinya. (Rosnida, 1988: 49)
Menurut Soekanto (2005: 260) ketentuan Hukum Adat secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem hukum waris Adat terdiri dari tiga sistem, yaitu :
1. Kewarisan Individual
Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah sistem kewarisandimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai danatau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing.
2. Kewarisan Kolektif
Sistem kewarisan kolektif, harta peninggalan diteruskan dan dialihkankepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidakterbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya. Ahli waris berhak untukmengusahakan, menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu.Harta peninggalan tersebut merupakan milik bersama (komunal) dari segenapahli warisnya, oleh karenanya tidak dapat dimiliki oleh perseorangan.
3. Kewarisan Mayorat
Sistem kewarisan mayorat memiliki kesamaan dengan konsep kewarisankolektif, tetapi perbedaannya terletak pada pemusatan penguasaan pada anaktertua sebagai pengganti orang tua.Kedudukan anak tertua pada kewarisanmayorat hanya sebagai penguasa dalam artian hanya menguasai hartapeninggalan orang tua yang diamanatkan kepadanya, ia bukanlah pemilik harta tersebut secara perseorangan.
Marina dan Sukarmini (2009:519) mengungkapkan bahwa secara mendasar ada 3 unsur pokok dalam konsep hukum kewarisan yaitu: adanya harta peninggalan atau kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris yaitu orang yang menguasai atau memiliki harta warisan, adanya ahli waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta warisan.
Pada masyarakat adat Minangkabau menggunakan sistem kewarisan kolektif dan tidak mengenal yang namanya sistem kewarisan perseorangan.Ter Haar memberikan contoh dalam bukunya (1999:204) bilamana di Minangkabau ada seorang perempuan mati yang mempunyai sawah sebagai milik perseorangan, maka sawah itu menjadi milik bersama.Dan harta ini disebut sebagai harta pusaka yang diturunkan kepada kemenakan.Ketentuan atau peraturan tentang harta pusaka yang diturunkan kepada kemenakan tersebut masih berlaku hingga kini. (Zuriati, 2007: 128)
B. Kerangka Berpikir
Penelitian ini dibangun dengan landasan teoritis dan analisis agar mampu secara menyeluruh memahami dan menjelaskan fenomema terkait tema penelitian dan objek yang diteliti. Untuk itu, kerangka pemikiran dalam penelitian disusun dari sejumlah konsepnya antara lain yaitu pengertian hukum waris adat, pengertian sistem kewarisan, kedudukan perempuan pada masyarakat adat Minangkabau, pelaksanaan pembagian harta warisan dalam masyarakat adat Minangkabau.
Menurut analisis kami hukum waris adat merupakan peralihan harta kekayaaan dari peninggalan pewaris yang telah wafat dalam bertuk materiil atau immateriil yang penentuannya berdasarkan peraturan-peraturan maupun norma pada hukum adat tersebut dan akan diserahkan kepada pihak-pihak garis keturunannya.Pada masyarakat adat di daerah minangkabau secara teoritis memakai sistem matrilineal, yaitu sistem yang menarik garis keturunan melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya
>
BAB III
METODOLOGI
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, karena penelitian ini mengembangkan data dari objek yang diteliti. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah memberikan pernyataan dengan beberapa pilihan alternatif jawaban bagi responden.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan diKota Medan Kecamatan Medan Denai. Menurut peneliti di Desa ini belum ada yang melakukan penelitian yang sama mengenai Hukum Waris Adat Minangkabau.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang didalamnya terdapat sejumlah subjek yang akan disajikan sebagai sumber data yang diharapkan dapat memberikan data-data yang dibutuhkan oleh peneliti. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah sekumpulan masyarakat yang berada diKecamatan Medan Denai.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang dianggap bisa mewakili seluruh populasi.Dan sampel yang digunakan adalah beberapa keluarga masyarakat kecamatan Medan Denai yang bersuku Minangkabau.
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian Kedudukan Perempuan Sebagai Ahli Waris dalam Pembagian Hak Waris dilihat dari Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Adat Minangkabau.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah angket, yaitu memberikan jawaban secara tertulis dan dilengkapi dengan alternatif jawaban kepada responden yang dianggap dapat melengkapi penelitian itu dengan berbagai pertanyaan tentang penelitian yang dilakukan.
E. Teknik Analisis Data
Analisis adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Teknis analisis data bertujuan untuk mengolah data agar penelitian dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Perangin, Efendi. 2011. Hukum Waris. Rajawali Pers. Jakarta.
Simanjuntak, P.N.H. 2015.Hukum Perdata Indonesia.Kencana. Jakarta.
Wiranata, I Gede A.B. 2005.Hukum Adat Indonesia Perkembangannya Dari Masa Kemasa.PT. Citra Aditya bakti. Bandung.
Manan, Abdul dan Fauzan. 2001. Pokok-Pokok Hukum Perdata.PT.Raja Grafindo Persada.Jakarta.
Anwar, Chairul. 1997. Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Rineka Cipta.Jakarta.
Djamali, R. Abdoel. 2001. Pengantar Hukum Indonesia.PT.Raja Grafindo Persada.Jakarta.
Hadikusuma, Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Mandar Maju. Bandung.
Tutik, Titiek Triwulan. 1998. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional.Kencana. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 2005. Hukum Adat Indonesia.PT. Raja Grafindo Persada.Jakarta.
Bzn, Ter Haar. 1998. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. PT. Pranadya Paramita. Jakarta.
Rosnida, dkk. 1988. Kedudukan Dan Peranan Wanita Dalam Kebudayaan Suku Bangsa Di Minangkabau. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan
Putra, Yerri.S. 2007. Minangkabau Dipersimpangan Generasi. Fakultas Sastra Universitas Andalas. Padang.
Zuriati. 2007. Undang-Undang Minangkabau dalam Perspektif Ulama Sufi. Insist Press. Padang.
Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda. PT. Intermasa.Jakarta.
Jamin, Mohammad. 2007. Peradilan Adat. Graha Ilmu.Yogyakarta.
JURNAL:
Asy-Syari‘ah. 2015.Eksistensi Hukum Waris di Indonesia: Antara Adat dan Syariat . KomariVol. 17. Hal.158
Fatimah, Siti. 2012. Gender Dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau; Teori, Praktek Dan Ruang Lingkup Kajian. IlmiahKajian Gender. Hal.17-18
Harries, Akhmad. 2014. Analisis Tentang Studi Komparatif Antara Hukum Kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Adat. Fenomena, Vol 6.Hal. 22
Marina, Liza. 2009. Perbedaan Perspektif Keadilan tentang Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam, Hukum Perdata Barat, dan Hukum Adat. Hukum Supremasi. Vol.3. Hal.
Minauli, Irna dkk.2006. Perbedaan Penanganan Kemarahan Pada Situasi Konflik dalam Suku Jawa, Batak, dan Minangkabau.Psikologika.Vol. 2.Hal. 3
Saputra, Arwin Rio dan Bintang Wiranwan. 2015. Persepsi Masyarakat Semende Terhadap Pembagian Harta Warisan Dengan Sistem Tunggu Tubang.Sosiologi.Vol.15. Hal. 55
Sasmita, Siska .2011. Peran Perempuan Suku Minangkabau yang Menjadi Kepala Keluarga (Pekka) bagi Penciptaan Ketahanan Pangan Rumah Tanggadi Kecamatan Padang Timur.Vol. 10.Hal. 84
Tarigan, Azhari Akmal. 2014. Pelaksanaan Hukum Waris di Masyarakat Karo Muslim Sumatera Utara.Ahkam: Vol. 14. Hal. 1
Yazid, Tantri Puspita. 2014. Representasi Perempuan Minangkabau Dalam Lirik Lagu Si Nona.PARALLELA.Vol. 1.Hal.137
Yunus, Yasril. 2013. Aktor Kultural Dalam Pemerintahan Terendah Di Sumatera Barat (Posisi Ninik Mamak Dalam Struktural Adat dan Penyelenggaraan Pemerintahan Formal).Humanus Vol.12 Hal. 23-24
Posting Komentar
0 Komentar
Mari Berdiskusi Tentang Topik Ini